Telah jamak ketika menjelang dan saat Natal, dari dahulu hingga sekarang, selalu ada hal yang baru. Tengok saja gereja-gereja yang dapat dilihat dari jalan-jalan yang Anda lewati. Di sana akan dapat dijumpai pernak-pernik (hiasan) Natal. Mulai dari kertas warna-warni, balon, tulisan-tulisan, kerlap-kerlip lampu, sampai pohon Natal yang penuh dengan hiasan yang memanjakan mata.
Pernak-pernik (hiasan) Natal itu dipastikan banyak yang baru. Baru membeli karena tentu yang lama telah banyak yang rusak. Yang, tidak pantas lagi dipasang untuk dilihat banyak pasang mata. Akan tidak menarik lagi jika dipaksakan dipasang. Maka, untuk memenuhi pernak-pernik itu, dipastikan dianggarkan. Tergantung seberapa banyak dan variasai pernak-pernik yang diinginkan. Semakin banyak jumlah dan variasinya, tentu semakin banyak anggarannya; semakin sedikit jumlah dan variasinya, tentu semakin sedikit anggarannya.
Tradisi seperti itu dialami oleh semua gereja, baik yang berada di kota maupun desa. Tradisi yang barangkali telah menjadi hal yang sulit untuk dikurangi, apalagi ditiadakan. Karena, boleh jadi banyak orang yang berpikir bahwa hanya setahun sekali (saja) tidak apa dibuat semeriah mungkin. Kerangka berpikir demikian itu yang melanggengkan sikap konsumtif menjelang dan saat Natal.
Dan, hal demikian agaknya telah menjiwai anak-anak karena banyak orang tua yang membangun tradisi itu lestari hingga kini. Setiap menjelang dan saat Natal banyak orang tua membeli pakaian baru untuk anak-anaknya. Bahkan, barangkali untuk diri (mereka) sendiri. Sekan-akan jika menjelang dan saat Natal tidak mengenakan baju baru, misalnya, kurang merasakan suasana Natal.
Ada orang tua yang saya jumpai mengaku merasa tak jenak hatinya karena saat Natal tidak dapat membelikan pakaian baru bagi anak-anaknya. Katanya, kasihan terhadap anak-anaknya yang tidak memakai pakaian baru saat berkumpul dengan teman-temannya. Sebenarnya tidak salah membelikan baju baru ketika Natal tiba jika memang ada anggarannya. Tetapi, jika tidak ada anggarannya, lantas mengada-ada itu yang kurang benar.
Saya masih ingat peristiwa menjelang Natal ketika saya masih kecil. Di masa-masa Natal ketika itu memang ada banyak sumbangan pakaian dari luar negeri karena budaya yang dilakukan oleh zending. Pakaian-pakaian itu tidak baru. Pakaian-pakaian itu bekas, tetapi masih layak pakai. Saya dan teman-teman memilih mana yang bagus dan pantas untuk kami pakai saat Natal. Kami sangat gembira, meski orang tua kami tidak membeli yang baru bagi kami. Karena kami sering memaknai itu pakaian baru.
Nah, bisa jadi setelah zending tak lagi memberi bantuan pakaian di masa-masa Natal itu, orang tua mulai berusaha membelikan pakaian baru bagi anak-anaknya setiap menjelang dan saat Natal. Yang, saya rasakan hal begitu hingga kini masih ada, bahkan semakin menggejala. Semuanya serba baru, ya milik anaknya ya milik orang tuanya. Sehingga ketika menghadiri Natal terlihat banyak yang mengenakan pakaian dan aksesoris serba baru, tak seperti kelahiran Yesus Kristus yang disertai (serba) apa adanya alias sederhana.
0 komentar:
Posting Komentar